Pengalaman Khitan/Sunat di BWCC Bintaro

So yesterday sebenarnya. Karena ini adalah pengalaman kami di pertengahan tahun lalu. Namun rasa-rasanya, menuliskan peristiwa ini di blog akan menjadi kenangan untuk dibaca-baca kembali suatu saat nanti, entah oleh kami orangtuanya atau si bocah di masa depan.

Jadi waktu itu pertengahan Juni 2021, tepat sebelum badai covid varian delta menghantam Indonesia. Agha, anak ketiga kami sekaligus putra pertama di keluarga kami tiba-tiba berkali-kali bilang minta sunat. Awalnya kami pikir pengaruh nonton Upin Ipin episode sunat berjudul “Sakit Ke?” (mamak2 pasti hafal tontonan ini 🤣). Maklum, semenjak pandemi melanda dan bocah banyak berdiam di rumah, tak dapat dipungkiri tontonan salah satunya Upin-Ipin menjadi makanan sehari-hari mereka. Jadi wajar ketika di awal Agha mengatakan ingin sunat, kami berpikiran itu hanya keinginan selewat semata. Namun rupanya kenyataan berkata lain. Agha benar-benar serius ingin disunat, dalam waktu dekat. Bahkan kalau bisa, saat itu juga.

Maka kemudian kami mencoba mencari informasi sebanyak mungkin mengenai sunat di sekitaran Bintaro. Setelah browsing dan diskusi dengan beberapa senior yang telah berpengalaman menyunatkan anaknya, kami memutuskan untuk menggunakan bipolar technology, yang salah satunya digunakan oleh klinik sunatan.com (silakan klik untuk informasinya). Sebenarnya hal lain yang juga menjadi penambah yakin keputusan ini adalah, sekian tahun lalu saya juga pernah menggunakan teknologi yang sama untuk operasi hemoroid, dan kebetulan saya melakukan tindakan tersebut di Surgy Medika, klinik yang dimiliki oleh dokter yang sama dengan pengagas sunatan.com tersebut.

Singkat cerita, kami menghubungi sunatan.com untuk appointment dan ternyata jadwalnya sudah penuh untuk saat itu. Kebetulan menjelang musim libur sekolah, jadi yang lain juga sudah mengincar waktu tersebut sebagai saat yang tepat untuk menyunatkan anaknya. Akhirnya saya teringat saat itu klinik BWCC Bintaro pernah menuliskan di sosmednya bahwa salah satu layanan yang disediakan adalah sirkumsisi/sunat dan kok ya kebetulan bekerja sama dengan sunatan.com. Ya sudah, akhirnya pada 13 Juni 2021 sekitar pukul 4 sore, Agha mendapatkan slot untuk tindakan sunat di klinik BWCC Bintaro.

Sebelum tindakan, berpose dulu ala bapak-bapak PNS. Hari itu ada kakak nomor 1 yang ikut menemani Agha.

Sebelum sampai lokasi, saya kembali mencoba mengobrol dengan Agha. Bahwa Agha sudah memutuskan, ibu dan ayah sudah appointment, maka Agha tidak boleh mundur. Harus berani. Perkara sakit, kami tidak berbohong bahwa sunat tidak sakit. Kami sampaikan, nanti akan ada momen ketika Agha disuntik bius, dan namanya disuntik dengan jarum pasti ada nyeri yang dirasa. Namun suntikan tersebut dibutuhkan agar proses sunat berjalan lancar dan Agha tidak merasakan sakit. Dengan yakin Agha menyatakan siap, maka kami pun juga siap menemaninya.

Total lama tindakan sekitar 30 menit. Sempat kaget saat penyuntikan bius, tapi tidak menangis. Selama tindakan minta main game pinjem hp kakakya. Alhamdulillah lancar, selesai tanpa drama. Selesai sunat mendapatkan lego untuk dibawa pulang, bocahnya tentu saja gembira. Justru emaknya yang agak drama terharu sih, hahaha. Harap maklum, pertama kali mengantarkan anak laki-laki untuk melewati fase sunat ini.

selesai tindakan sunat

Selesai tindakan, berfoto dengan Om dokter dan Om perawat, alhamdulillah lancar.

Dengan metode bipolar, dokternya menyampaikan ini akan minim darah. Lukanya relatif lebih mudah kering, tidak infeksi dan lebih cepat sembuh. Perawatannya juga lebih mudah. Sesudah mandi sekitar luka cukup dibersihkan dengan cairan Nacl dan disemprot antibiotik, kemudian ditutup kembali dengan batok portable yang mudah dilepas pasang (karena hanya diselipkan di celana dalam, fungsinya untuk melindungi sekitaran luka agar tidak tersenggol). Dibekali juga dengan obat anti nyeri untuk diminumkan sesuai dengan dosis. Alhamdulillah sekitar semingguan lukanya bersih. Kekuatan teknologi, beda banget dengan jaman dulu karena kebetulan sekian tahun lalu pernah merawat adik laki-laki yang habis sunat. Masih berdarah-darah, dan proses penyembuhannya lama.

Meski sudah setahun lalu, namun pengalaman ini sangat berkesan bagi saya. Terharu. Rasanya baru kemarin mbrojol dan melihatnya mewek-mewek, ternyata sudah sunat aja sekarang. Seperti mengantarkan anak laki-laki menuju fase baru hidupnya. Saya jadi ingat, mungkin perasaan yang sama yang dirasakan oleh Ibu saya yang hari itu menangis tak henti menyaksikan adik saya disunat. Hanya ibu-ibu yang paham rasanya.

Perjuangan Melawan Covid19: Sebuah Pengalaman Berharga

Menutup penghujung tahun ini dengan segenap rasa syukur. Alhamdulillah segala puji bagi Alloh SWT.  Sebuah rasa syukur yang rasanya tak cukup. Tak terbayangkan jika mendekati akhir tahun ini kami harus dihadapkan dengan sebuah ketakutan yang menjadi kenyataan: terpapar covid-19. Setelah sekian bulan berjibaku dan senantiasa secara ketat menerapkan protokol kesehatan, qodarullah Alloh menguji kami dengan covid-19.  Meski serumah hanya suami yang terpapar, namun rasanya tetap deg-degan, cemas, khawatir dan rasa takut campur aduk menjadi satu. Meski apa yang kami hadapi tak seheroik penyintas lainnya, namun saya akan mencoba menuliskan sekelumit pengalaman kami dalam menghadapi covid-19 kemarin, mudah-mudahan ada hikmah dan manfaat bagi teman-teman yang barangkali mampir membaca ke sini.

Awal Mula dan Gejala
Hari itu, 17 November 2020. Saya masih ingat betul sepulang kantor suami merasa kelelahan. Selepas Isya biasanya kami masih menemani dan mengantarkan anak-anak hingga tertidur, namun hari itu suami merasakan lelah yang sangat. Selesai Isya langsung tertidur lelap sampai pagi. Siang hari berikutnya, badan mulai merasa meriang dan masuk angin. Menganggap hanya masuk angin biasa, mencoba mengkonsumsi jamu tolak-tolak masuk angin, kerokan dan oles-oles minyak hangat. Malam harinya saya meminta suami tidur di kamar terpisah, semata-mata agar dapat beristirahat dengan nyaman tanpa gangguan gaduhnya anak-anak.

Kamis, 19 November 2020. Jadwal suami WFO. Karena merasa badan sudah enakan, suami pamit berangkat WFO. Seperti biasa saya menyiapkan bekal cemilan dan makan siang, dan saya pesankan jika memang merasa belum terlalu enak badan untuk izin pulang saja. Siang hari suami WA dan menginfokan bahwa badan terasa kurang fit. Pulang kantor, saya melihat raut mukanya memang agak pucat. Dan malamnya, muncul demam dengan suhu kurang lebih 38 derajat Celcius. Dari situ, saya mulai deg-degan.

Positif Covid-19
Jumat, 20 November 2020. Selepas pagi ke dokter umum dan dinyatakan radang, suami kemudian rapid test dan hasilnya reaktif. Hari itu kebetulan jadwal saya WFO. Konsentrasi saya di kantor terpecah sudah. Melalui komunikasi telepon, saya memberikan instruksi kepada anak-anak dan mbak untuk mulai ketat melakukan pemisahan di rumah.  Saya kemudian mendorong suami untuk segera lanjut swab PCR untuk memastikan keadaan. Kami mengambil swab PCR dengan sameday result, dan malamnya sekitar jam 12 malam pihak laboratorium RS mengabarkan bahwa hasil swab suami positif dengan nilai CT kurang lebih 14 ribu.

Hasil swab 20112020

Kami berdua tak bisa tidur malam itu. Saya langsung kepikiran dengan kondisi anak-anak di rumah. Dengan posisi kami sebagai kontak erat, yang pertama terlintas adalah anak-anak harus swab. Saya langsung  terbayang si bungsu 10 bulan yang harus di swab. Apakah mereka sudah terpapar? Lalu bagaimana jika ternyata sudah terpapar? Atau kalau ternyata saya pun terpapar, nanti anak-anak bagaimana? Ya Alloh, saya mbrebes mili membayangkan hal-hal tersebut.

Meski demikian, saya tahu saya harus segera menyusun rencana-rencana. Dengan posisi dan kondisi sakit suami saat itu, saya harus mulai menyiapkan apa saja yang harus dilakukan. Maka kemudian, inilah hal-hal yang kemudian saya lakukan begitu suami terkonfirmasi covid-19:

  • Menyiapkan isolasi mandiri (isoman) untuk suami secara ketat.

Karena sejak awal suami menempati kamar di lantai bawah, maka untuk selanjutnya suami akan menempati kamar tersebut. Kamar mandi bawah yang kebetulan letaknya dekat dengan kamar yang ditempati suami, otomatis menjadi kamar mandi pasien. Saya, anak-anak dan si mbak akan menggunakan kamar mandi atas. Peralatan makan, saya siapkan terpisah. Untuk kemudahan (maafkan ya bumi), saya membeli piring, mangkok dan gelas yang sekali pakai.  Peralatan mandi pun demikian. Saya siapkan tempat baju kotor dan ember sendiri, sabun cuci dan spons untuk cuci piring sendiri, dll.

  • Menyediakan suplemen, vitamin dan alat kesehatan yang diperlukan.

Kebetulan di rumah sudah ada thermometer dan oxymeter. Saya sedia 2 set karena 1 digunakan untuk pasien konfirmasi (suami) dan 1 lagi untuk jaga-jaga kami yang belum swab. Obat penurun panas, beberapa minyak hangat, vitamin C, madu, sari kurma angkak, dll saya siapkan untuk suami. Lalu bagaimana dengan kami yang sampai hari itu sehat? Ya sudah pasti tetap mengkonsumsi vitamin juga. Madu, probiotik, vitamin, jahe, jamu-jamuan dan lain-lain. Tak lupa menyetok masker medis. Segera pengadaan desinfektan juga untuk rutin menyemprot rumah dan permukaan-permukaan di rumah setiap pagi sore. Selama berada di rumah, terutama jika ada perlu ke lantai bawah kami semua menggunakan masker medis. Tidak boleh lupa.

  • Melakukan swab untuk kontak erat serumah.

Begitu hasil swab keluar, suami berinisiatif menghubungi  ketua RT kami untuk mengabarkan. Oleh Pak RT infonya diteruskan ke dinkes kemudian kami diminta menunggu nanti akan dihubungi. Saya pikir karena itu tengah malam, oh mungkin besok kami akan dihubungi. Meski demikian, sampai Sabtu siang 21 November 2020 tidak ada yang menghubungi baik dinkes maupun puskesmas. Saya pun berusaha menghubungi pihak terkait selalu tidak tersambung. Dengan kondisi di rumah ada bayi 10 bulan, 1 balita, dan 2 anak maka kemudian Sabtu sore kami melakukan swab mandiri di RS sekitar rumah. Pilihannya adalah drivethru RSPI Bintaro. Kami berenam (termasuk si mba yang menginap) sore itu melakukan swab PCR. Dengan pertimbangan kami tidak bergejala, maka kami mengambil yang hasilnya 2-3 hari.  Sambil menunggu hasilnya tentunya kami harus disiplin isolasi mandiri. Jangan ditanya bagaimana rasanya harus menyaksikan anak-anak ikut diswab. Sedih. Namun saya bersyukur, anak-anak cukup kooperatif dan hari itu mereka begitu berani menghadapi tes swab yang saya yakin rasanya pasti tidak nyaman.

Dokumentasi Swab Ahza

Kondisi Suami Setelah Positif Covid-19

Sabtu, 21 November 2020. Kondisi hari itu masih lemas dan pusing. Pagi itu suami berinisiatif ke Puskesmas untuk meminta arahan terkait kondisinya dan juga mengenai apakah memungkinkan isolasi di luar rumah karena di rumah kami ada bayi. Namun alangkah kagetnya, di Puskesmas hanya diminta menuliskan nama dan kontak dan disuruh pulang. “Nanti akan dihubungi Pak,” begitu kira-kira pihak puskesmas. Sedikit kecewa, akhirnya berinisiatif periksa ke RS dekat rumah. Alhamdulillah di sana bertemu dengan dokter spesialis penyakit dalam, diberi penjelasan dan interpretasi hasil swab. Diberikan vitamin dan diberikan pesan-pesan penting terkait kondisi darurat saat isoman diantaranya: jika demam di atas 39, ada muncul gejala lain tak tertahankan atau saturasi tiba-tiba turun di bawah 94 harus segera ke IGD. Nilai CT 13 ribu menandakan posisi saat ini dalam masa infeksius dan sangat menular sehingga protocol ketat isoman wajib dijalankan.

Ahad, 22 November 2020. Kondisi masih merasa lemas. Sejak Sabtu malam, suami kembali demam. Suhu demam mencapai 38-39. Setiap kali suhu naik maka akan diikuti rasa pusing yang cukup mengganggu yang juga mengganggu waktu tidur/istirahat. Saya yang selalu menerima laporan via WA hanya bisa menguatkan. Terbayang kan jika keluarga kita sakit namun kita tak bisa merawatnya dari dekat? Maka hari-hari itu, saya hanya bisa menyemangati dan mendoakan.

Senin, 23 November 2020. Karena 2 hari demamnya cukup tinggi dan pusing, hari itu suami berinisiatif kembali ke RS untuk konsultasi kembali dan melakukan rontgen paru. Pagi sempat meler dan keluar banyak ingus namun hanya sebentar. Tubuh cenderung berkeringat dingin saat turun suhunya. Di RS ketemu lagi dengan dokter yang sama. Hasil rontgen mulai ada inflitrat meski masih wajar, dan karena keluhan demam dan pusing tak tertahankan maka dokter memberi prioritas untuk rawat inap. Kenapa prioritas? Karena harus waiting list. Ruang rawat isolasi covid19 di RS yang suami tuju saat itu penuh, sehingga harus menunggu dahulu sampai ada pasien sembuh dan keluar RS jika ada yang mau rawat inap.

Hasil Rontgen Paru

Selasa, 24 November 2020. Subuh hari ini, kami menerima hasil swab kontak erat serumah: alhamdulillah negatif. Saya lega, namun juga tetap waspada. Di hari ini suhu tubuh suami cenderung di bawah normal dan keringat dingin. Setelah dzuhur suami dihubungi pihak RS, diberi informasi jika ada kamar tersedia untuk rawat dan diminta memutuskan dalam kurun waktu 30 menit. Jika bersedia maka secara otomatis harus patuh dengan terapi RS: diinfus, diberikan obat dan vitamin dll.  Setelah sedikit berdiskusi akhirnya suami mengiyakan untuk dirawat, jadi resmilah sore itu statusnya rawat inap isolasi di rumah sakit.

Saat Dirawat di Rumah Sakit

Rabu, 25 November 2020. Hari ini suami mulai mendapatkan terapi medis dari rumah sakit. Sejak awal diinfokan bahwa pasien akan diberikan avigan sebagai anti virus utama selama 7 hari, dan vitamin serta obat-obatan lain sebagai penunjang. Setelah 7 hari akan dilakukan swab kembali untuk pengecekan. Hari ini, suhu tubuh melonjak tinggi hingga 39,8. Untuk memaksimalkan saturasi suami juga diberikan bantuan oksigen melalui kanul napas (saya tak tahu nama medisnya). Penurun demam dan obat-obatan lain diberikan via infus. Alhamdulillah sore sampai malam suhu normal, dan bisa tidur setelah malam sebelumnya tak bisa tidur sama sekali.

Infus

Kamis, 26 November 2020. Suhu badan terpantau normal. Keluhan hari ini adalah pusing. Dokter memberikan obat tidur saat malam agar bisa istirahat. Namun biasanya menjelang subuh suami terbangun dan tidak bisa tidur lagi.

Jumat, 27 November 2020.  Suhu badan kembali naik di kisaran 38 derajat celcius. Dosis parasetamol dinaikkan.  Suami juga rajin mengompres dirinya sendiri dengan air hangat saat suhu tubuh naik. Pusing masih terasa.

Sabtu, 28 November 2020. Suhu cenderung di bawah normal dan keringat dingin. Meski demikian, suami mengatakan hari ini badan terasa lebih enakan. Dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya, hari ini terasa lebih baik.

Ahad, 29 November 2020. Hari ini infus sudah dilepas. Obat-obatan yang sebelumnya dimasukkan lewat infus diganti dengan obat minum. Alhamdulillah suhu mulai normal, badan mulai terasa jauh lebih enak.

Senin, 30 November 2020. Setelah suhu normal dan badan terasa lebih enak, muncul keluhan baru. Suami merasakan nyeri tulang ekor. Nyeri tak tertahankan yang membuatnya merasa kesulitan untuk duduk, berbaring baik telentang, miring maupun tengkurap. Posisi paling enak adalah berdiri sehingga hari ini suami banyak berjalan-jalan mengitari kamar isolasi. Dokter mencoba memberikan obat pereda nyeri untuk mengurangi  rasa sakit yang dirasakan suami.

Selasa, 1 Desember 2020. Hari ini adalah hari terakhir suami mendapatkan dosis avigan. Suhu sudah normal, badan sudah mulai enakan. Kami membangun optimisme untuk persiapan swab esok hari. Mulai menyusun rencana-rencana jika hasil swab sudah bagus dan memungkinkan untuk lanjut isoman di rumah.

Rabu, 2 Desember 2020. Hari ini jadwal swab. Subuh diambil, dan diinfokan kalau malamnya Insya Alloh sudah ada hasilnya. Dan ternyata masih positif dengan nilai CT 22 ribu. Artinya dalam kurun waktu 12 hari nilai CT baru naik 8 ribu. Sempat agak pesimis kenapa naiknya sedikit. Namun kami kembali berusaha menata hati, bersabar. Jika Alloh menghendaki, kenaikan CT yang linier Insya Alloh bisa eksponensial kan? Dokter pun menyatakan suami harus lanjut rawat dulu kurang lebih 5 hari baru etelahnya swab kembali. Jika sudah negatif dan atau nilai CTnya mendekati negatif maka boleh pulang lanjut isoman di rumah. Hari ini nyeri tulang ekor pelan-pelan mulai berkurang sakitnya. Selain swab, hari ini adalah jadwal rontgen paru ulang. Dan hasilnya alhamdulillah sudah bagus.

Swab 2

Kamis 3 Desember 2020 – Ahad 6 Desember 2020. Suhu tubuh sudah normal, badan sudah terasa semakin sehat. Keluhan suami perihal nyeri ternyata berlanjut namun berpindah-pindah tempat. Setelah sebelumnya tulang ekor dan sembuh, kemudian pindah ke paha. Nggak tanggung-tanggung, paha kanan dan kiri nyeri bersamaan. Setelah paha beres, nyeri sempat terasa di bagian bahu/pundak. Dokter memberikan pereda nyeri untuk mengurangi rasa sakit.

Senin, 7 Desember 2020.  Subuh kembali diambil swab. Kami terus berdoa agar hasilnya bagus sehingga boleh pulang lanjut isolasi di rumah. Suami juga merasa badan sudah sehat, nyeri otot sudah tidak muncul, dan sudah jauh lebih fit.  Malam harinya, kami mendapat kabar kalau swabnya sudah keluar dengan hasil masih positif tetapi nilai CTnya sudah 38 ribu. Alhamdulillah.

Swab 3

Selasa, 8 Desember 2020. Dokter memperbolehkan suami pulang lanjut isolasi mandiri di rumah. Nilai CT menunjukkan bahwa di tubuh suami masih ada virus namun hanya sisa fragmen/bangkainya. Menurut dokter, dengan nilai CT tersebut tingkat penularan virusnya sudah tidak ada. Meski demikian, isolasi mandiri tetap wajib dilakukan sambil menunggu hingga negatif. Sebelum pulang suami diberikan hasil rontgen, vitamin-vitamin yang harus dikonsumsi selama di rumah, dan pengantar untuk swab PCR sekali lagi di tanggal 14 Desember 2020. Menjelang magrib sore itu, alhamdulillah suami resmi keluar dari ruang rawat inap isolasi RS.

Menu Makan di RS

Pasca Rawat Inap RS

Rabu 9 Desember 2020 – Senin 14 Desember 2020. Suami masih melanjutkan isolasi mandiri di rumah. Penyediaan makanan masih saya lakukan seperti saat sebelum suami dirawat di RS. Kami masih terpisah. Anak-anak meski mulai menyapa ayahnya dalam jarak tertentu, namun masih lebih banyak berinteraksi melalui video call. Alhamdulillah periode ini kondisi semakin sehat. Tidak ada gejala apapun, nafsu makan juga baik (satu hal yang saya syukuri, sejak awal terkonfirmasi nafsu makan suami tak terganggu). Suami rutin berjemur setiap ada matahari. Membersihkan kamar dan mencuci peralatan makan masih dilakukannya sendiri. Untuk mencuci baju, saya yang melakukan namun tetap dengan protokol khusus. Saya masih menggunakan APD ala-ala (jas hujan, boot, masker, sarung tangan) dan menggunakan cairan deterjen desinfektan lanjut deterjen biasa.

Senin, 14 Desember dilakukan swab kembali dan alhamdulillah hasilnya sudah negatif. Lega luar biasa. Meski demikian, isoman dilanjutkan sampai akhir pekan dan baru pada tanggal 19 Desember kemarin kami kembali berinteraksi biasa. Panjang ya ternyata. Total dirawat di RS 14 hari, dan dari gejala pertama bisa dibilang sekitar sebulan baru kembali bisa bersama-sama.

Swab 4

Side Story

Menjadi keluarga pasien terkonfirmasi covid19, ternyata banyak lika-likunya. Apalagi dalam kasus kami, yang terkena adalah kepala keluarga. Saya, dituntut untuk bisa menjadi kepala keluarga sementara, mengurus banyak hal dan mengambil alih tanggung jawab suami yang sedang dirawat di RS. Mungkin terdengar sepele dan simple, tapi percayalah tak sesederhana itu.

  • Psikosomatis.
    Saya mengalami gangguan psikosomatis berlebihan. Mungkin bisa dibayangkan, beberapa hasil sebelum swab suami positif, kami masih bersama-sama. Anak-anak pun gelendotan manja sama ayahnya. Meski alhamdulillah hasil swab kami yang kontak erat serumah negatif semua, namun bayang-bayang dan kecemasan terpapar tetap ada. Apalagi dokter berpesan untuk benar-benar melakukan observasi selama 14 hari ke depan sejak swab tanggal 21 November itu. Jika sebelum 14 hari diantara kami bergejala, maka kami wajib swab ulang dan atau menuju RS/puskesmas terdekat untuk melakukan tindak lanjut.

    Sejak suami sakit, tekanan stress benar-benar saya rasakan. Saya terkadang sedih dan menangis. Dengan kondisi suami terpapar covid19 bergejala dan sakit ini belum ada obatnya, orangtua dan mertua jauh, saya harus menjaga anak-anak dan di saat yang sama juga harus sehat, saya benar-benar merasa tertekan. Bayangkan saat orang terdekat Anda sakit dan tak bisa merawat, bagaimana rasanya? Meski saya tetap percaya pada Alloh dan yakin akan diberikan jalan kesembuhan, namun tekanan cemas dan takut ternyata benar adanya. Dimulai dari sariawan yang tiba-tiba muncul, mulut pahit, tenggorokan seperti mengganjal, kancilen tak bisa tidur semalaman sampai harus menyetel murottal. Saat itu saya sadar bahwa secara mental saya sedang tidak baik-baik saja. Bahkan hingga di pekan kedua suami sakit dan dirawat di RS, saya mengalami batuk. Batuk kering yang benar-benar mengganggu. Sudah bisa ditebak kan? Saya semakin takut saya sudah terpapar covid19. Lalu bagaimana nanti anak-anak jika ternyata saya juga kena?

    Maka di tanggal 30 November 2020, saya memberanikan diri untuk swab ulang dan melakukan tes rontgen paru-paru memastikan semua hal baik-baik saja. Saya pun  sempat mengisolasikan diri selama 24 jam menunggu hasil swab PCR. Alhamdulillahnya, swab PCRnya negatif dan paru-paru saya juga aman yang artinya batuk tersebut adalah psikosomatis belaka. Dokter meminta saya untuk rileks. Mengurangi rasa cemas berlebihan. Tarik napas panjang. Banyak berdoa dan beristighfar. Pokoknya sesuai teori yang saya yakin semua orang juga sudah khatam. Tinggal prakteknya. Sementara terkait gangguan batuk tersebut dokter memberi saya obat batuk dan vitamin agar segera fit kembali.

    Saya juga melakukan detoks sosmed. Menghapus beberapa sosmed untuk mengurangi kemungkinan scroll-scroll timeline dan membaca berita yang memicu stres terutama mengenai covid. Saya juga keluar dari beberapa grup Whatsapp yang sekiranya pembahasannya menambah kecemasan. Mohon maaf untuk beberapa teman yang WAnya mungkin hanya saya baca, biasanya karena pertanyaannya saat itu terasa sulit untuk dijawab.  Saya paham, mungkin itu bentuk perhatian mereka. Namun ini menjadi sebuah catatan buat saya juga, jika di kemudian hari ada teman atau kerabat terpapar covid19, rasa-rasanya cukuplah mengirimkan doa dan semangat tanpa harus menambahi pertanyaan dengan: Terkena dimana? Ada komorbidkah? Kok gejala demamnya lama? Atau narasi lain semisal menceritakan temannya yang sudah sembuh tetapi ternyata memburuk kembali atau bahkan meninggal dunia. Sungguh kawan-kawan, tanpa dijapri hal-hal seperti itu pun, hari-hari kami kemarin sudah penuh dengan kekhawatiran. Maka cukuplah mendoakan atau cukup kalimat penyemangat tanpa embel-embel apapun.
  • Kondisi Anak-Anak
    Lalu, bagaimana dengan anak-anak? Alhamdulillahnya, mereka sangat-sangat kooperatif selama masa isolasi dan ayahnya sakit. Di awal 2 anak terbesar sempat menangis saat saya sampaikan, swab ayah positif.  Saya paham karena mereka sudah tahu kondisi, apa itu covid19, berita-berita pasien covid 19, tentang isolasi pasien, kemungkinan sembuh, kemungkinan memburuk dst. Saya hanya katakan, ayo kita harus sehat dan harus doakan ayah terus. Saat saya katakan untuk stay di lantai atas, mereka patuh meski untuk 2 anak yang kecil awalnya masih agak rewel dan bertanya-tanya. Agar tidak bosan, beberapa mainan mereka kami boyong ke lantai 2. Suasana dibuat seasyik mungkin agar tetap bertahan betah di lantai 2. Sepekan pertama mungkin agak berat, tapi alhamdulillah pekan berikutnya kami baik-baik saja. Untuk memangkas rasa rindu dengan ayahnya, minimal 2 kali sehari kami melakukan video call. Kadang rame-rame dengan utinya sekalian.
  • Dukungan Keluarga, Tetangga dan Teman-Teman
    Begitu swab suami positif, keluarga, tetangga dan teman-teman terdekat adalah pihak-pihak yang pertama saya kabari. Dan dari merekalah saya mendapatkan suntikan semangat dan kuat. Bergantian mengirimkan WA bertanya kabar, mengirim doa dan support, mengirimkan logistik, vitamin, obat dll. Atau sesekali saya meminta tolong titip tetangga untuk membelikan beberapa keperluan rumah. Beberapa kali kami kaget begitu ada kurir mengantarkan paket-paket yang kami tak memesannya atau bahkan kami tak tahu pengirimnya siapa. Kami hanya bisa bersyukur dan tak henti berdoa semoga Alloh membalas kebaikan mereka berkali-kali lipat. Saya pribadi, dukungan paling berharga adalah dari Ibu saya nun jauh di sana. Berada di perantauan dan jauh dari orangtua maupun mertua, selama ini suami adalah sobat sambat saya setiap saat. Namun dengan kondisi suami sakit, sobat sejati kemudian berpindah haluan menjadi Ibu. Pagi, siang, malam, dinihari, kami selalu terhubung via WA. Dari Ibu saya mendapat suntikan semangat dan positif insight untuk melalui semua ini.
  • Tentang Respon Dinkes/Puskesmas Setempat
    Tanggal 2 Desember 2020, saya baru dihubungi oleh salah satu petugas puskesmas dekat rumah untuk follow up kondisi keluarga kami karena katanya baru ada informasi dari dinkes (kemungkinan dari laporan Pak RT).  Saya sempat mempertanyakan kenapa sejak suami ke sana dan dicatat pada tanggal 21 November 2020 mereka baru menghubungi sekarang? Meski demikian saya tak ingin memperpanjang. Mereka pun meminta maaf, dan saya hanya sampaikan alhamdulillah suami sudah mendapatkan perawatan, kami kontak serumah sudah swab mandiri dan menjalani isolasi mandiri. Agak sedih sih, saya tak bisa membayangkan jika hal ini dialami oleh orang lain yang mungkin tak bisa seleluasa kami melakukan swab mandiri atau inisiatif periksa di RS. Mudah-mudah yang kami alami tak terjadi di pasien lain yang terpapar covid19.

Hikmah

Mendapat ujian sakit, apalagi sakit spesial edisi pandemi seperti ini, tak ayal membuat kami mendapatkan banyak hikmah. Setelah melalui jalanan yang terjal dan berliku kurang lebih sebulan hingga suami dinyatakan negatif, ada banyak pelajaran yang bisa kami ambil. 

Yang pertama tentu saja, belajar lebih ikhlas dan bersabar. Bersabar menjalani proses yang dijalani. Ikhlas menerima takdir Alloh. Saat pertama mengetahui swab suami positif, terus terang saya sedikit merasa: kenapa? Kami yang selama ini berusaha seketat mungkin menerapkan protkes kok ya kebagian. Tapi rasa itu alhamdulillah hanya sebentar dan saya berusaha untuk ikhlas menerimanya. Yakin bahwa ini adalah yang terbaik. Sekaligus menjadi ajang introspeksi diri, bahwa ada banyak hal yang masih kurang. Mungkin ikhtiar kami masih kurang maksimal. Mungkin doa kami masih kurang adab dan kurang sungguh-sungguh. Mungkin kami masih kurang tawakal dst. Dan tentu kami harus memperbaikinya.

Yang kedua, lebih bersyukur dan memaknai kebersamaan lebih baik lagi. Mungkin selama ini, kami lalai mensyukuri kebersamaan berkumpul dalam kondisi sehat. Kesibukan masing-masing tiap hari menjadikan kami kurang memaknai kebersamaan. Dengan diuji kemarin, saya merasakan betul bahwa berkumpul dengan suami dan anak-anak adalah sebuah anugerah yang luar biasa.

Berikutnya, ternyata banyak hal yang selama ini kami kira tak bisa dilakukan namun saat isolasi mandiri kemarin bisa dilakukan. Anak-anak misalnya, tidak menonton tivi hehe. Tivi ada di lantai 1, dan selama ayahnya sakit anak-anak berada di lantai 2. Sebulan tanpa tivi ternyata bisa. Anak-anak juga rasanya lebih mandiri mengerjakan banyak hal. Sebulan ayahnya sakit, rasanya anak-anak semakin cepat besar. Saya yang terbiasa meminta tolong suami melakukan beberapa hal, kemarin harus mandiri melakukan sendiri: mengangkat galon ke lantai 2, menaikkan galon ke dispenser, urusan gas elpiji, merangkai sepeda bocah, dll. Yang biasanya membawa anak-anak ke RS dibantu oleh suami, kemarin ternyata bisa sendiri membawa mereka semua swab.

Penutup

Di atas semuanya, kami bersyukur telah melewati semua ini. Benar ketika Alloh mengatakan: “Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.”

Awalnya memang seperti gelap dan berada di terowongan saat mendapat vonis positif dan bergejala, namun dengan pertolongan Alloh ada kemudahan-kemudahan. Bertemu dengan dokter yang baik dan mendapatkan arahan yang baik, dan kami berterima kasih kepada pihak RS yang telah merawat suami selama sakit. Untuk semua keluarga dan sahabat serta teman-teman, terima kasih atas segala do’a, ucapan semangat, kiriman dukungan moral maupun material, semoga Alloh memberikan balasan dan kebaikan yang berlipat.  Ke depan, mudah-mudahan senantiasa sehat. Kembali memperketat protokol kesehatan, jaga iman, imun dan aman, karena tidak tahu sampai kapan pandemic ini berlangsung. Tetap berikhtiar maksimal, berdoa sungguh-sungguh, dan selebihnya mari bertawakal kepada Alloh SWT.

Catatan Tambahan: Jawaban atas Beberapa Pertanyaan

Untuk yang menanyakan, selama suami terkonfirmasi positif, apa saja yang dilakukan dan dikonsumsi?

  • Makanan sehat dan bergizi. Usahakan ada sayur, buah, dan protein. Selama di RS setiap hari ada menu telur. Saat di rumah protein biasanya bergantian dari telur, tahu tempe, ikan atau daging.
  • Obat-obatan dan vitamin dari dokter/RS: antivirus, penurun panas, antibiotik, obat lambung, pereda nyeri vitamin C, vitamin D, zinc. Semua obat-obatan ini disesuaikan dengan keluhan gejala pasien.
  • Suplemen herbal : madu, propolis, qist al hindi, antacov, probiotik, JSH sidomuncul dll (sebagian besar adalah kiriman teman-teman baik).
  • Berjemur jika memungkinkan.
  • Berolahraga ringan saat sudah memungkinkan.
  • Minum air putih sebanyak-banyaknya.
Suplemen dll

Tentang sterilisasi kamar dan kamar mandi yang dipakai isoman, selain secara rutin dibuka jendelanya agar ventilasi baik, saya juga rutin melakukan penyemprotan desinfektan secara mandiri tiap pagi sore. Beli saja desinfektan cair dan desinfektan spray. Tiga hari setelah suami masuk RS, saya juga menyewa jasa desinfeksi rumah yang saya temukan di internet agar rumah dapat steril secara menyeluruh. Alhamduliiah setelah dilakukan desinfeksi menyeluruh ini rasanya jauh lebih bersih.

Mengenai cuci baju pasien terkonfirmasi, jika memungkinkan sebaiknya memang yang bersangkutan sendiri yang melakukannya. Jadi isolasi mandiri dalam arti mandiri segala-galanya. Namun jika memang terpaksa yang sehat harus membantu mencucikan, saran saya gunakan APD yang cukup, terlebih jika masih dalam periode infeksius. Lebih baik berjaga-jaga untuk meminimalisir paparan. Cuci secara terpisah, rendam dengan air mendidih beserta deterjen, atau rendam dengan deterjen desinfektan terlebih dahulu sebelum rendam dengan deterjen biasa.

Mengapa mesti isolasi di RS? Apa di rumah tidak cukup? Mungkin perlu diingat, sebelum akhirnya memilih rawat inap di RS, suami sempat beberapa hari isoman di rumah. Namun karena gejala demamnya sangat fluktuatif, pusingnya mengganggu sampai tidak bisa tidur, dan karena di rumah ada bayi, pada akhirnya jika memang di RS ada ketersediaan kamar kami memilih di RS. Saya lebih tenang jika kondisi suami terpantau oleh dokter secara langsung. Ibaratnya jika di rumah kami cuma mengatasi sebisanya, di RS ada yang lebih paham dan Insya Alloh treatmentnya lebih pas.

Oiya, untuk RS kemarin suami dirawat di RS Mitra Keluarga Bintaro. Bayar berapa? Untuk periksa di awal sesuai biaya periksa biasa. Setelah masuk kamar rawat inap isolasi, alhamdulillah gratis karena ada kerjasama Kemenkes dengan Mitra Keluarga. Meski demikian, ruang rawat isolasi yang tersedia di sana terbatas dan selalu penuh sehingga sebisa mungkin kita harus tetap sehat teman-teman.  Tetap jalankan protokol kesehatan selalu ya.

Saat Janin Sungsang atau Melintang


Pernah dengar kata sungsang? Ya, sungsang adalah posisi janin yang berada di perut ibu belum optimal sesuai yang seharusnya. Idealnya, saat kehamilan trimester ketiga dan memasuki usia persalinan, posisi optimal janin adalah posisi dengan kepala mendekati jalan lahir dan memasuki rongga panggul ibu. Pada beberapa ibu hamil sering terjadi posisi janin berada pada sebaliknya: kaki/pantat masih berada di bawah dan kepalanya di atas, ini yang disebut sungsang. Ada juga yang posisinya melintang horisontal dengan kepala janin di bagian kanan/kiri perut ibu.⁣

Posisi Janin (sumber dari google)

Dari beberapa kali kehamilan, dua kehamilan terakhir kemarin saya lalui dengan cukup deg-degan karena posisi janin memasuki trimester ketiga belum optimal. Dua-duanya berada di posisi sungsang atau melintang. Tidak tanggung-tanggung, Agha baru mantap posisinya di minggu ke-35 kehamilan, dan Ahza lebih bikin deg-degan, minggu ke-37 lewat 3 hari baru memposisikan kepalanya berada di bawah. Alhamdulillah, beberapa minggu kemudian keduanya terlahir normal. ⁣

 

(more…)